PERAHU
SENJA

“Ada apa di kertas itu?” Aku memergokinya sedang melamun
di mulut jendela, menatapi kertas yang sedang ia pegang dengan tatapan hampa.
“Puisi? Karyamu?”
Dia tersentak dan
menjatuhkan kertas dari genggamannya.
“Aduh, kaget ya? Maaf.” Ucapku penuh penyesalan sembari
memungut kertas purple yang tergeletak di lantai.
Biarkanlah
rasa ini tumbuh
Walau
tak seharusnya terjadi
Kita,
Terlalu
jauh dari hanya Ibu dan Putri
Mungkin
hal wajar jika kau memperhatikanku
Tapi
tidak untuk aku yang terbiasa sendiri.
Maafkan
aku mencintaimu
Aku
tahu cinta ini cinta terlarang
Tapi
Kau
harus tahu,
Cinta
ini tak mungkin bisa
Dimusnahkan.
Waktu
seakan berhenti di belahan dunia. Detik yang melaju hanya jeda antara putaran
emosi yang tidak tak seharusnya menyatu.
“Raisya
..”
Aku tak tahu harus memulainya
darimana, tapi ini semua salah. Aku, dia, kami adalah keluarga. Dia anakku, tak
seharusnya ada cinta di antara kita.
“Mah, dengarkan aku dulu ..”
“Jangan sentuh aku!”
Aku menepis tangannya
dan perlahan-lahan mundur menjauh.
“Mah, tunggu! Dengarkan aku dulu!”
Nafasku mulai memburu.
Langkah-langkah mundur ini serasa lebih
berat dibanding lari berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
“Audy, Raisya, sedang apa?”
Kedatangan Mas Bayu
membuatku lega sekaligus takut.
“Papah? Kemana aja? Aku sama Kakak udah nunggu dari
tadi.”
“Kakak?”
Aku, juga Mas Bayu menghujaminya dengan tatapan penuh tanya.
“Maksud
aku .. Mamah.”
Detik-detik menegangkan
kini berpindah posisi. Bukan antara aku dan Raisya, melainkan antara aku dan
Mas Bayu. Aku tak mungkin mengatakan tentang Raisya yang ‘abnornal’ kepada Mas Bayu, tapi aku juga tak tahu harus menjawab
apa kalau-kalau Mas Bayu bertanya tentang dia yang tak pernah mau memanggilku
mamah.
“Oh, lagi pada ngumpul di sini. Pantesan aku ketuk pintu
berkali-kali gak dibuka.”
Seseorang dengan
pakaian serba hitam mendekati kami.
“Rifal?”
“Iya, Pah.”
Mereka berpelukan.
“Kenapa gak ngasih kabar dulu? Kan bisa Papah jemput.”
“Aku bisa sendiri kok, Pah. Lagian Papah kan pulangnya
suka larut malem.”
“Enggak lah kak, sekarang Papah pulangnya gak bakal lebih
dari jam delapan. Kan punya istri baru.” Timbal Raisya dengan nada sinis.
“Istri baru?” Dia terlihat kaget dan langsung melepas
pelukannya.
“Iya, Papah udah nikah. Ini istri Papah, Audy.” Raisya
mendorongku kasar. Hampir saja aku terjatuh, beruntung Rifal menahanku.
“Hati-hati!”
“Oh, iya. Maaf.”
Jam sudah menunjuk ke
angka 11, tapi Mas Bayu dan Rifal masih asyik berbincang. Beberapa kali aku
memberi isyarat pada Mas Bayu, tapi ia mengacuhkannya. Akhirnya aku putuskan
untuk tidur lebih dulu.
***
“Tidaaaak!”
Aku terbangun dari
mimpi buruk itu dengan nafas tersenggal-senggal dan tubuh dibanjiri keringat.
Di sebelah kiriku, Mas Bayu terlelap begitu pulas.
“Huh, untung Mas Bayu tidak terbangun.”
Langit masih terlalu
gelap untuk memulai aktivitas, udara pun masih sangat dingin, tapi aku tetap
beranjak dari kamar menuju taman.
Kelap-kelip bintang
menyambut kedatanganku. Aku duduk tepat di hadapan air mancur, membiarkan
cipratannya menembus ke kulitku.
“Rifal, aku benar-benar akan kehilanganmu. Besok, aku tak
mungkin datang. Maafkanku.”
Pandanganku tertutup
air mata yang berlinang tapi enggan turun.
“Audy .. kau takkan kehilanganku, justru kita semakin
memiliki. Meski kau sebagai Ibuku, bukan Kekasih Facebookku.”
Detak jantungku terpacu. Kuhapus linangan air mata itu
dan segera menoleh ke sumber suara tersebut.
“Rifal?”
Dia tersenyum padaku
dan berjalan mendekat.
“Audy .. aku Rifal, Kekasihmu. Tiga tahun kita pacaran di
dunia maya, dan akhirnya kita bertemu. Di sini, di dunia nyata. I miss you.”
“Don’t touch me!”
“Kenapa, Dy?”
“Rifal, sekarang aku Ibumu!”
Dia terhenti, begitu
juga aku.
Diam.
“Tapi aku .. “
“Rifal!!”
Sesaat kemudian kami
merenung. Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing hingga tak menyadari bahwa
malam telah pergi.
Kokokan ayam
membuyarkan lamunan kami.
“Anniversary.”
Ada rasa ngilu saat
mendengar bisikannya itu. Aku segera berpaling agar tak terjadi adegan konyol
layaknya cerita yang sudah tertata rapi.
***
Aku menghabiskan waktu
seharian hanya untuk menonton televisi. Sebenarnya aku tidak menontonnya, hanya
duduk tepat di hadapannya dan menatap lurus seolah sesuatu yang sedang
kurenungkan ada di sana.
“Aku pulang ... “
Raisya melemparkan
tasnya ke sampingku.
“Jangan melamun My Girl.”
Aku memandangnya dengan
tatapan muak sekaligus takut.
“Kenapa? Marah? Kurasa kalimat tadi tak ada salahnya. Toh
suatu hari nanti kau akan jadi milikku.”
Aku menarik nafas berat
dan beranjak pergi ke kamar.
“Ada apa denganku? Dan keluarga ini?”
Aku memandangi wajahku
dari balik cermin. Tiba-tiba perhatianku tertarik oleh secarik kertas yang
tergeletak di samping foto ku dan Mas Bayu.
Kutunggu
kau di taman
Pada
pemandangan terindah antara siang dan malam.
R ♥ A
Jam weker menampilkan
angka 17.30, yang artinya bagian terindah antara siang dan malam akan segera
terpancar dari cakrawala.
“R ? siapa? Mungkinkah dari Rifal?”
Menyeruak rasa bahagia
di antara takut dan penasaran.
Tanpa berpikir panjang
aku segera memburu jalan menuju taman.
Kecewa. Ya, aku sangat
kecewa ketika menyadari kekosongan taman.
“Mana Rifal?”
Pandanganku menyapu
seluruh isi taman. Tak ada apapun, kecuali .... perahu kertas yang mengambang
di antara pancuran air.
Sebisa mungkin kuraih
perahu itu tanpa menyisakan cepretan basah baik di kertas maupun di bajuku.
“Surat?”
Kelembutan
hatimu membuatku terpana
Melihat
pesona dari setiap gerakanmu
Membuatku
mencinta.
Cinta?
Ya,
itulah yang kurasakan.
Aku
mencintaimu, Audy.
Sangat!
R
♥ A
***
Sore berganti sore,
selalu ada perahu yang mengambang memuat puisi. Berawal dari satu, kini menjadi
sepuluh.
“Tepat hari ke sebelas.”
Aku merebahkan tubuhku.
“Bangun!!!!”
Seseorang
membangunkanku dengan kasar.
“Mas? Udah pulang?” Jawabku sembari mengucek-ngucek mata,
mencari kesadaran sepenuhnya.
“Apa-apaan ini?”
Dia melemparkan
beberapa lembar kertas tepat ke wajahku.
“Berani kamu menyimpan tentang perselingkuhanmu di
rumahku?”
“Selingkuh? Tunggu Mas, aku bisa jelasin tentang ini.”
Pertengkaran pun tak
bisa dihindari. Dan parahnya, Mas Bayu yang jelas salah menilai justru
memenangkan pertengkaran ini.
“Ikut aku!!”
“Kemana Mas?”
Dia menyeretku ke
belakang rumah.
“Ada apa sih ribut-ribut?”
Raisya dan Rifal datang
bersamaan.
“Kenapa Audy? Maksudku kenapa Mamah, Pah?”
Rifal terlihat
khawatir, begitupun Raisya.
“Masuk!”
Mas Bayu mengurungku di
gudang.
***
Aku tak tahu ini siang
atau malam karena di sini gelap. Tak ada lampu, ataupun sinar matahari.
“Audy?”
Samar-samar kudengar
seseorang memanggilku di balik pintu.
“Siapa?”
“Rifal. Tunggu sebentar aku akan mengeluarkanmu!”
Beberapa menit kemudian
pintu terbuka.
“Ayo keluar!”
Rifal memapahku.
“Hahaha, bagus-bagus! Tak perlu aku bujuk Papah untuk
mengeluarkan gadis manis ini, karena sepertinya sudah ada Hero yang membantu.”
Raisya tersenyum kecut.
Sesaat Rifal berhenti, menengok Raisya.
“Acuhkan dia!”
Rifal kembali
memapahku.
“Eits, tunggu! Mau dibawa kemana?”
“Bukan urusanmu!”
“Dia ......... jelas urusanku! Dia kan Ibuku juga!”
Rifal tersenyum sinis.
“Ibu? Kalau kamu menganggapnya Ibu, seharusnya kamu tidak
mencintainya! Dan tidak mengirimkan puisi-puisi malapetaka itu!”
Aku sedikit kaget
ketika Rifal mengucapkan itu. Tapi aku terlalu lemah untuk bereaksi.
“Hahaha, syukurlah kalau kamu sudah tahu, Rifal.”
“Dasar gila!”
“Kamu juga gila! Kamu pikir aku tidak tahu ketika malam
kepulanganmu, kalian berdua-duaan di taman. Dan, oh ya. Kamu juga hampir
memeluknya bukan? Ow ow, bagaimana kalau Papah tahu?”
Rifal mengepalkan tangannya.
“Jangan, Fal.”
Di tengah panasnya
perdebatan antara Rifal dan Raisya, tiba-tiba Mas Bayu datang.
“Audy, kenapa kamu bisa keluar?”
Tak ada yang menjawab.
Raisya berjalan sambil
bergumam, “Pacarnya.”
Ternyata Mas Bayu
sangat jeli, dia mampu mendengar ucapan Raisya yang menurutku sangat minim.
“Tunggu Raisya! Maksud kamu siapa?”
Raisya tetap berjalan,
namun Mas Bayu mencengkramnya.
“Aw, sakit Pah.”
“Siapa yang kamu sebut pacar Audy?”
“Papah ini apaan sih, aku gak bilang gitu kok.”
“Siapa!!!?”
Mas Bayu membentaknya
kasar. Tak pernah kulihat Mas Bayu semarah itu.
“Aku, Pah.”
Rifal menunduk.
“Apa?? Jadi ... Papah kecewa sama kamu Rifal!!”
“Tunggu Mas. Masih ada penjelasan lain.”
“Apa Audy? Apa yang mau kamu jelaskan? Sudah jelas
inisial R itu adalah Rifal. Yah, harusnya kusadari itu dari awal.”
“Tidak Mas, tidak! Bukan Rifal.”
“Lalu siapa? Adakah R lain?”
Diam.
“Dia, Pah!”
Lagi-lagi Rifal yang
memulai. Dia menunjuk Raisya hingga wajah Raisya mulai memerah.
“Dia yang membuat puisi-puisi itu! Dia! Dia itu abnormal,
Pah!”
“Jangan asal bicara kamu!”
“Enggak, Pah. Kak Rifal benar. Aku ...”
“Gila!! Ikut Papah!”
Mas Bayu menyeret
Raisya ke luar pintu utama dan mendorongnya hingga terjatuh.
“Mulai sekarang kamu bukan bagian dari keluarga ini!”
“Pah .. maafin Raisya Pah. Raisya mohon, jangan usir
Raisya.”
Raisya menangis. Aku
sungguh tak tega melihatnya.
“Mas, dia anak Mas.”
“Tidak! Aku tak sudi memiliki anak seperti dia!
Memalukan!”
“Pah, Raisya janji, Raisya akan berubah.”
“Tidak! Kamu tetap tidak akan diterima lagi di rumah
ini!”
“Tunggu Pah. Kalau begitu, ijinkanlah Raisya ikut
bersamaku. Aku akan kembali ke rumah Mamah. Dan aku janji, aku akan mendidik
Raisya betul-betul.”
“Terserah kalian!”