Kamis, 14 November 2013

Cerpen Perahu Senja



PERAHU SENJA


            “Ada apa di kertas itu?” Aku memergokinya sedang melamun di mulut jendela, menatapi kertas yang sedang ia pegang dengan tatapan hampa.
            “Puisi? Karyamu?”
Dia tersentak dan menjatuhkan kertas dari genggamannya.
            “Aduh, kaget ya? Maaf.” Ucapku penuh penyesalan sembari memungut kertas purple yang tergeletak di lantai.

Biarkanlah rasa ini tumbuh
Walau tak seharusnya terjadi
Kita,
Terlalu jauh dari hanya Ibu dan Putri
Mungkin hal wajar jika kau  memperhatikanku
Tapi tidak untuk aku yang terbiasa sendiri.

Maafkan aku mencintaimu
Aku tahu cinta ini cinta terlarang
Tapi
Kau harus tahu,
Cinta ini tak mungkin bisa
Dimusnahkan.

Waktu seakan berhenti di belahan dunia. Detik yang melaju hanya jeda antara putaran emosi yang tidak tak seharusnya menyatu.
“Raisya ..”
Aku tak tahu harus memulainya darimana, tapi ini semua salah. Aku, dia, kami adalah keluarga. Dia anakku, tak seharusnya ada cinta di antara kita.
            “Mah, dengarkan aku dulu ..”
            “Jangan sentuh aku!”
Aku menepis tangannya dan perlahan-lahan mundur menjauh.
            “Mah, tunggu! Dengarkan aku dulu!”
Nafasku mulai memburu. Langkah-langkah mundur  ini serasa lebih berat dibanding lari berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
            “Audy, Raisya, sedang apa?”
Kedatangan Mas Bayu membuatku lega sekaligus takut.
            “Papah? Kemana aja? Aku sama Kakak udah nunggu dari tadi.”
“Kakak?” Aku, juga Mas Bayu menghujaminya dengan tatapan penuh tanya.
“Maksud aku .. Mamah.”
Detik-detik menegangkan kini berpindah posisi. Bukan antara aku dan Raisya, melainkan antara aku dan Mas Bayu. Aku tak mungkin mengatakan tentang Raisya yang ‘abnornal’ kepada Mas Bayu, tapi aku juga tak tahu harus menjawab apa kalau-kalau Mas Bayu bertanya tentang dia yang tak pernah mau memanggilku mamah.
            “Oh, lagi pada ngumpul di sini. Pantesan aku ketuk pintu berkali-kali gak dibuka.”
Seseorang dengan pakaian serba hitam mendekati kami.
            “Rifal?”
            “Iya, Pah.”
Mereka berpelukan.
            “Kenapa gak ngasih kabar dulu? Kan bisa Papah jemput.”
            “Aku bisa sendiri kok, Pah. Lagian Papah kan pulangnya suka larut malem.”
            “Enggak lah kak, sekarang Papah pulangnya gak bakal lebih dari jam delapan. Kan punya istri baru.” Timbal Raisya dengan nada sinis.
            “Istri baru?” Dia terlihat kaget dan langsung melepas pelukannya.
            “Iya, Papah udah nikah. Ini istri Papah, Audy.” Raisya mendorongku kasar. Hampir saja aku terjatuh, beruntung Rifal menahanku.
            “Hati-hati!”
            “Oh, iya. Maaf.”
Jam sudah menunjuk ke angka 11, tapi Mas Bayu dan Rifal masih asyik berbincang. Beberapa kali aku memberi isyarat pada Mas Bayu, tapi ia mengacuhkannya. Akhirnya aku putuskan untuk tidur lebih dulu.

***

            “Tidaaaak!”
Aku terbangun dari mimpi buruk itu dengan nafas tersenggal-senggal dan tubuh dibanjiri keringat. Di sebelah kiriku, Mas Bayu terlelap begitu pulas.
            “Huh, untung Mas Bayu tidak terbangun.”
Langit masih terlalu gelap untuk memulai aktivitas, udara pun masih sangat dingin, tapi aku tetap beranjak dari kamar menuju taman.
Kelap-kelip bintang menyambut kedatanganku. Aku duduk tepat di hadapan air mancur, membiarkan cipratannya menembus ke kulitku.
            “Rifal, aku benar-benar akan kehilanganmu. Besok, aku tak mungkin datang. Maafkanku.”
Pandanganku tertutup air mata yang berlinang tapi enggan turun.
            “Audy .. kau takkan kehilanganku, justru kita semakin memiliki. Meski kau sebagai Ibuku, bukan Kekasih Facebookku.”
            Detak jantungku terpacu. Kuhapus linangan air mata itu dan segera menoleh ke sumber suara tersebut.
            “Rifal?”
Dia tersenyum padaku dan berjalan mendekat.
            “Audy .. aku Rifal, Kekasihmu. Tiga tahun kita pacaran di dunia maya, dan akhirnya kita bertemu. Di sini, di dunia nyata. I miss you.”
            “Don’t touch me!”
            “Kenapa, Dy?”
            “Rifal, sekarang aku Ibumu!”
Dia terhenti, begitu juga aku.
Diam.
            “Tapi aku .. “
            “Rifal!!”
Sesaat kemudian kami merenung. Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing hingga tak menyadari bahwa malam telah pergi.
Kokokan ayam membuyarkan lamunan kami.
            “Anniversary.”
Ada rasa ngilu saat mendengar bisikannya itu. Aku segera berpaling agar tak terjadi adegan konyol layaknya cerita yang sudah tertata rapi.

***
Aku menghabiskan waktu seharian hanya untuk menonton televisi. Sebenarnya aku tidak menontonnya, hanya duduk tepat di hadapannya dan menatap lurus seolah sesuatu yang sedang kurenungkan ada di sana.
            “Aku pulang ... “
Raisya melemparkan tasnya ke sampingku.
            “Jangan melamun My Girl.”
Aku memandangnya dengan tatapan muak sekaligus takut.
            “Kenapa? Marah? Kurasa kalimat tadi tak ada salahnya. Toh suatu hari nanti kau akan jadi milikku.”
Aku menarik nafas berat dan beranjak pergi ke kamar.
            “Ada apa denganku? Dan keluarga ini?”
Aku memandangi wajahku dari balik cermin. Tiba-tiba perhatianku tertarik oleh secarik kertas yang tergeletak di samping foto ku dan Mas Bayu.

Kutunggu kau di taman
Pada pemandangan terindah antara siang dan malam.

R    A

Jam weker menampilkan angka 17.30, yang artinya bagian terindah antara siang dan malam akan segera terpancar dari cakrawala.
            “R ? siapa? Mungkinkah dari Rifal?”
Menyeruak rasa bahagia di antara takut dan penasaran.
Tanpa berpikir panjang aku segera memburu jalan menuju taman.
Kecewa. Ya, aku sangat kecewa ketika menyadari kekosongan taman.
            “Mana Rifal?”
Pandanganku menyapu seluruh isi taman. Tak ada apapun, kecuali .... perahu kertas yang mengambang di antara pancuran air.
Sebisa mungkin kuraih perahu itu tanpa menyisakan cepretan basah baik di kertas maupun di bajuku.
            “Surat?”
Kelembutan hatimu membuatku terpana
Melihat pesona dari setiap gerakanmu
Membuatku mencinta.

Cinta?
Ya, itulah yang kurasakan.
Aku mencintaimu, Audy.
Sangat!


R ♥ A

***
Sore berganti sore, selalu ada perahu yang mengambang memuat puisi. Berawal dari satu, kini menjadi sepuluh.
            “Tepat hari ke sebelas.”
Aku merebahkan tubuhku.
            “Bangun!!!!”
Seseorang membangunkanku dengan kasar.
            “Mas? Udah pulang?” Jawabku sembari mengucek-ngucek mata, mencari kesadaran sepenuhnya.
            “Apa-apaan ini?”
Dia melemparkan beberapa lembar kertas tepat ke wajahku.
            “Berani kamu menyimpan tentang perselingkuhanmu di rumahku?”
            “Selingkuh? Tunggu Mas, aku bisa jelasin tentang ini.”
Pertengkaran pun tak bisa dihindari. Dan parahnya, Mas Bayu yang jelas salah menilai justru memenangkan pertengkaran ini.
            “Ikut aku!!”
            “Kemana Mas?”
Dia menyeretku ke belakang rumah.
            “Ada apa sih ribut-ribut?”
Raisya dan Rifal datang bersamaan.
            “Kenapa Audy? Maksudku kenapa Mamah, Pah?”
Rifal terlihat khawatir, begitupun Raisya.
            “Masuk!”
Mas Bayu mengurungku di gudang.

***
Aku tak tahu ini siang atau malam karena di sini gelap. Tak ada lampu, ataupun sinar matahari.
            “Audy?”
Samar-samar kudengar seseorang memanggilku di balik pintu.
            “Siapa?”
            “Rifal. Tunggu sebentar aku akan mengeluarkanmu!”
Beberapa menit kemudian pintu terbuka.
            “Ayo keluar!”
Rifal memapahku.
            “Hahaha, bagus-bagus! Tak perlu aku bujuk Papah untuk mengeluarkan gadis manis ini, karena sepertinya sudah ada Hero yang membantu.”
Raisya tersenyum kecut.
            Sesaat Rifal berhenti, menengok Raisya.
            “Acuhkan dia!”
Rifal kembali memapahku.
            “Eits, tunggu! Mau dibawa kemana?”
            “Bukan urusanmu!”
            “Dia ......... jelas urusanku! Dia kan Ibuku juga!”
Rifal tersenyum sinis.
            “Ibu? Kalau kamu menganggapnya Ibu, seharusnya kamu tidak mencintainya! Dan tidak mengirimkan puisi-puisi malapetaka itu!”
Aku sedikit kaget ketika Rifal mengucapkan itu. Tapi aku terlalu lemah untuk bereaksi.
            “Hahaha, syukurlah kalau kamu sudah tahu, Rifal.”
            “Dasar gila!”
            “Kamu juga gila! Kamu pikir aku tidak tahu ketika malam kepulanganmu, kalian berdua-duaan di taman. Dan, oh ya. Kamu juga hampir memeluknya bukan? Ow ow, bagaimana kalau Papah tahu?”
Rifal mengepalkan tangannya.
            “Jangan, Fal.”
Di tengah panasnya perdebatan antara Rifal dan Raisya, tiba-tiba Mas Bayu datang.
            “Audy, kenapa kamu bisa keluar?”
Tak ada yang menjawab.
Raisya berjalan sambil bergumam, “Pacarnya.”
Ternyata Mas Bayu sangat jeli, dia mampu mendengar ucapan Raisya yang menurutku sangat minim.
            “Tunggu Raisya! Maksud kamu siapa?”
Raisya tetap berjalan, namun Mas Bayu mencengkramnya.
            “Aw, sakit Pah.”
            “Siapa yang kamu sebut pacar Audy?”
            “Papah ini apaan sih, aku gak bilang gitu kok.”
            “Siapa!!!?”
Mas Bayu membentaknya kasar. Tak pernah kulihat Mas Bayu semarah itu.
            “Aku, Pah.”
Rifal menunduk.
            “Apa?? Jadi ... Papah kecewa sama kamu Rifal!!”
            “Tunggu Mas. Masih ada penjelasan lain.”
            “Apa Audy? Apa yang mau kamu jelaskan? Sudah jelas inisial R itu adalah Rifal. Yah, harusnya kusadari itu dari awal.”
            “Tidak Mas, tidak! Bukan Rifal.”
            “Lalu siapa? Adakah R lain?”
Diam.
            “Dia, Pah!”
Lagi-lagi Rifal yang memulai. Dia menunjuk Raisya hingga wajah Raisya mulai memerah.
            “Dia yang membuat puisi-puisi itu! Dia! Dia itu abnormal, Pah!”
            “Jangan asal bicara kamu!”
            “Enggak, Pah. Kak Rifal benar. Aku ...”
            “Gila!! Ikut Papah!”
Mas Bayu menyeret Raisya ke luar pintu utama dan mendorongnya hingga terjatuh.
            “Mulai sekarang kamu bukan bagian dari keluarga ini!”
            “Pah .. maafin Raisya Pah. Raisya mohon, jangan usir Raisya.”
Raisya menangis. Aku sungguh tak tega melihatnya.
            “Mas, dia anak Mas.”
            “Tidak! Aku tak sudi memiliki anak seperti dia! Memalukan!”
            “Pah, Raisya janji, Raisya akan berubah.”
            “Tidak! Kamu tetap tidak akan diterima lagi di rumah ini!”
            “Tunggu Pah. Kalau begitu, ijinkanlah Raisya ikut bersamaku. Aku akan kembali ke rumah Mamah. Dan aku janji, aku akan mendidik Raisya betul-betul.”
            “Terserah kalian!”

Selasa, 05 November 2013

curahan hatiku

aku ingin memelukmu sayang.
membenamkan kegelisahanku di duniamu yang tenang dan penuh cinta.
aku ingin menangis di pelukmu dan mengungkapkan cerita-cerita yang ku sembunyikan.
aku ingin jujur sejujur-jujurnya, tentang aku, kamu, (kita) , juga mereka. ;'(